Mengabdi di Batas Negeri (1) : Selamat Datang di Jantung Borneo

Kalimantan, sebuah pulau besar di Indonesia dengan segenap potensi sumber daya alam dan keberagaman budayanya mampu menarik kami untuk datang dan mengabdi di tengah-tengah masyarakat melalui program Kuliah Kerja Nyata Pembelajaran Pemberdayaan Masyarakat (KKN-PPM) Universitas Gadjah Mada 2014. Kedatangan kami di Pulau Borneo ini merupakan suatu pengalaman baru, mengingat belum ada di antara kami yang menjejakkan kaki dan menetap dalam waktu lama di sana. Keikutsertaan saya dalam tim KKN-PPM ini bermula dari keinginan lama yang belum terwujud saat itu, menginjakkan kaki di Pulau Kalimantan. Tidak pernah terbayangkan sebelumnya keinginan saya yang cukup sepele itu akan terwujud saat ini, tidak hanya terwujud sebagai acara jalan-jalan biasa namun suatu kesempatan luar biasa untuk dapat menetap, berbaur, dan belajar bersama masyarakat.

Kegiatan KKN-PPM ini diawali dengan keberangkatan kami ke Kalimantan di awal bulan Juli tepatnya tanggal 10 Juli 2014. Kami dengan berat hati harus berpisah dengan keluarga, kawan-kawan di Yogyakarta, dan momen-momen menyenangkan selama Bulan Ramadhan yang akan terlewati. Pengalaman baru yang akan kami hadapi selama kurang lebih 2 bulan ke depan terus terang membuat saya grogi. Jujur saja perjalanan ini merupakan pengalaman pertama bagi saya terbang ke Kalimantan. Perjalanan kami ke Pontianak dimulai dari Kota Yogyakarta. Kami menempuh perjalanan darat menggunakan kereta api menuju stasiun Jatinegara, Jakarta Timur. Kemudian dilanjutkan dengan penerbangan menuju Bandara Supadio Pontianak malam tanggal 11 Juli.


Tim KKN-PPM UGM Sungai Utik 2014 di Pontianak berfoto sebelum melanjutkan perjalanan menuju Kota Putussibau
(Dok: Lukas Alfario, 2014)
  
Begitu banyak informasi dan cerita yang saya dengar baik dari media massa, internet, maupun cerita dari mulut ke mulut tentang Kalimantan, Suku Dayak-nya, dan berbagai hal kurang menyenangkan yang ada di sana. Hal inilah yang awalnya membuat saya gentar untuk menikmati perjalanan panjang kami ke Jantung Borneo. Perlu kekuatan mental dan fisik untuk dapat melewati perjalanan darat dari Pontianak menuju Putussibau. Bayangkan saja perjalanan darat menggunakan bus DAMRI memakan waktu hingga 18 jam dengan medan jalan yang rusak parah. Percayalah saya benar-benar nerveous!



Agus Kusmawanto, Ketua tim KKN kami mengemas barang-barang ke atap bus DAMRI yang akan kami tumpangi menuju ke Sungai Utik
(Dok: Lukas Alfario, 2014)
Inilah bus Hidayah yang akan kami tumpangi menuju Sungai Utik, abaikan keberadaan saya di sana hehe
(Dok: Lukas Alfario, 2014)

Ketakutan saya yang tidak beralasan itu berangsur menghilang. Voila! Hari Senin, 14 Juli 2014 kami tiba di Dusun Sungai Utik, dusun terpencil di pedalaman Kabupaten Kapuas Hulu, di timur laut Provinsi Kalimantan Barat. Dusun Sungai Utik berjarak sekitar 300 meter dari Jalan Lintang Lintas Utara, yaitu satu-satunya jalan darat yang menghubungan Provinsi Kalimantan Barat dengan negara tetangga, Malaysia. Di pinggir jalan dusun inilah kami turun dari bus yang kami tumpangi. Tampak sebuah halte kecil warna biru beratap seng, di depannya terpasang sebuah papan kayu bertuliskan kata-kata dalam Bahasa Iban menyambut kami. Gaga temuae datai, begitu bunyi tulisan dalam papan kayu itu yang berarti senang tamu datang. Tidak nampak sebuah gapura pada umumnya di depan jalan dusun ini. Di sebelah barat berdiri sebuah langkau atau pondok kecil sebagai tempat sesaji yang dipercaya mampu menolak bala dan menjauhkan hal-hal buruk dari kampung.



Sebentuk pernyataan sikap masyarakat adat Dayak Iban Sungai Utik, "Hutan Adat Bukan Huran Negara"
(Dok: Lukas Alfario, 2014)
Tim KKN tiba di Dusun Sungai Utik didampingi dengan Dosen Pembimbing Lapangan Bapak Taufik Tri Hermawan, M.Si (tengah) dan perwakilan dari Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (DISBUDPAR) Kapuas Hulu Bapak Indra (kanan)
(Dok: Lukas Alfario, 2014)
Berjalan kaki menuju Rumah Betang Sungai Utik
(Dok: Lukas Alfario, 2014)

Begitu turun dari bus, kami berjalan menuju Kampung Sungai Utik. Tiba di Dusun Sungai Utik ini kami disambut dengan keramahtamahan yang tidak kami duga sebelumnya. Segenap warga Dusun Sungai Utik menyambut kami di halaman depan Rumah Panjai. Rumah Panjai atau Rumah Betang adalah sebuah rumah adat berbentuk rumah panggung yang hampir seluruh materialnya terbuat dari kayu, dengan ukuran panjang kurang lebih 210 meter dan berdiri kokoh memanjang sejajar aliran sungai. Di Rumah Panjai inilah masyarakat Dusun Sungai Utik yang mayoritas merupakan Suku Dayak Iban bertempat tinggal.

Kedatangan kami di Kampung Sungai Utik ini disambut meriah oleh seluruh masyarakat. Di depan Rumah Panjai kami disambut oleh Pak Bandi atau biasa dipanggil Apai Janggut, beliau adalah seorang tetua kampung dan Bapak Raymundus Remang sang Kepala Desa Batu Lintang beserta warga lainnya. Sebagai seorang tuai rumah atau tuan rumah, Apai Jangut adalah seorang tokoh masyarakat di kampung ini dan beliau inilah yang memimpin upacara adat bagi penyambutan kedatangan kami.



Bocah laki-laki berpakaian adat Dayak Iban dengan tato buatan
(Dok: Lukas Alfario, 2014)
Anak-anak bersiap menaiki tangga di depan Rumah Betang
(Dok: Lukas Alfario, 2014)
Seorang gadis Dayak Iban dengan pakaian adatnya
(Dok: Lukas Alfario, 2014)

Prosesi upacara adat ini dibuka dengan tarian khas Suku Dayak Iban yang dibawakan oleh anak-anak. Terdapat beberapa prosesi dan aturan yang harus ditaati sebelum kami diperkenankan memasuki Rumah Panjai. Salah satu aturan atau pantang yang ada di Rumah Panjai adalah seorang tamu yang baru datang dari jauh tidak diperkenankan untuk masuk dari hulu rumah, sehingga kami satu per satu pun masuk melalui hilir rumah. Pada saat kami menaiki tangga di hilir rumah inilah dilakukan suatu prosesi adat penyambutan tamu. Oleh Apai Janggut, sang tuai rumah satu per satu disambut dengan seekor ayam jantan yang diayunkan di dekat kepala kami. Prosesi ini sebagai simbol membuang segala hal jahat yang ikut bersama kami selama perjalanan agar tidak ikut masuk dan menganggu di Rumah Panjai. Kemudian secangkir tuak, yaitu minuman yang terbuat dari fermentasi beras ketan disuguhkan satu per satu untuk kami di tangga rumah. Adanya tradisi meminum tuak ini awalnya membuat saya takut, saya khawatir akan sangat tidak sopan apabila kami menolak makanan atau minuman saat prosesi penyambutan ini. Ternyata dugaan saya keliru, masyarakat Suku Dayak Iban di Sungai Utik sudah terbuka dengan segala bentuk perbedaan, sebab mereka tidak memaksakan kami untuk meminum tuak karena sebagian besar dari kami adalah muslim.

Upacara adat berlanjut dengan masuknya kami ke Rumah Panjai. Di dalam Rumah Panjai anak-anak kecil mulai menarikan tarian khas Suku Dayak Iban dengan diiringi alunan musik tradisional. Di belakang para penari cilik itu kami berjalan mengikuti mereka bersama masyarakat. Kami beriringan berjalan dari hilir menuju hulu rumah. Setiap tamu yang datang ke Rumah Panjai diharuskan berjalan memutari ruai atau teras dari hilir ke hulu sebanyak tiga kali. Namun waktu itu kami hanya berjalan memutari ruai sebanyak satu kali dan berhenti di depan bilik 14, bilik milik keluarga Bapak Kades.



Anak-anak mengiringi langkah kami melewati ruai dengan membawakan tarian khas Suku Dayak Iban
(Dok: Lukas Alfario, 2014)
Pakaian adat laki-laki berupa kain tenun yang digunakan sebagai bawahan dan hiasan kepala terbuat dari kain tenun atau manik-manik beserta bulu burung
(Dok: Lukas Alfario, 2014)
Alat musik tradisional Dayak Iban; apabila diperhatikan mirip dengan alat musik Gamelan di Jawa
(Dok: Lukas Alfario, 2014)
Bandi anak Ragai alias Apai Janggut sang tuai rumah Betang Sungai Utik
(Dok: Lukas Alfario, 2014)

Begitu banyak ketakutan yang ada dalam pikiran saya berangsur hilang karena keramahtamahan masyarakat di dusun ini. Mereka menyambut kami seolah kami ini adalah keluarga yang baru datang dari merantau. Pada acara penyambutan itu segala macam hidangan khas yang terbuat dari beras ketan disuguhkan, ada pulut, tumpik, dan kue-kue lainnya. Berbagai minuman khas juga turut dihidangkan seperti tuak, kopi hitam, dan teh. Malam ini kami semua begitu gembira, bahkan anak-anak dengan mudahnya akrab dengan kami semua. Begitu juga dengan apai dan indai semua, kami menikmati hidangan, saling bercerita, dan tertawa bersama bahkan malam itu kami bergiliran diminta untuk berjoget poco-poco bersama anak-anak. Malam itu saya merasa sangat bahagia, tidak tahu kenapa saya merasa bukan berada di tempat yang akan saya anggap asing selama program KKN ini berlangsung, melainkan seperti berada di rumah. Suasananya begitu hangat dan sangat akrab..


Sebagian warga masih berkumpul di depan ruai Pak Kades; Malam semakin larut kami masih mengobrol dan bercanda
(Dok: Lukas Alfario, 2014)


Anak-anak mulai akrab dengan kedatangan kami
(Dok: Lukas Alfario, 2014)
Mari kita berjoged poco poco
(Dok: Lukas Alfario, 2014)
Semuanya, senyum !
(Dok: Lukas Alfario, 2014)

Malam kedatangan kami di Dusun Sungai Utik ini adalah malam pertama bagi kami yang muslim menjalankan ibadah puasa di lokasi KKN. Sekaligus pengalaman pertama bagi kami tidur di Rumah Betang. Waktu sudah menunjukkan hampir tengah malam, genset sebagai sumber penerangan di ruai pun sudah dimatikan, namun saya masih belum bisa memejamkan mata. Suara anjing menggonggong di halaman Rumah Betang saling bersahutan. Di dalam bilik Pak Kades dengan hanya diterangi pelita dan lampu solar cell yang mulai meredup, saya masih belum percaya bahwa saya benar-benar sampai di Sungai Utik, sebuah surga kecil di Jantung Borneo..

Banyak sekali momen yang kami abadikan melalui foto, berikut beberapa diantaranya,


Rumah Betang Sungai Utik sudah ditetapkan sebagai bangunan cagar budaya oleh DISBUDPAR Kapuas Hulu
(Dok: Kurnia Rahmawati, 2014)

Teras Rumah Betang Sungai Utik memanjang dari hulu ke hilir
(Dok: Lukas Alfario, 2014)

Halaman depan Rumah Betang dimanfaatkan warga untuk berbagai keperluan, seperti menjemur beras, pakaian, dan rotan
(Dok: Lukas Alfario, 2014)

Nenek Sia duduk di teras depan ruai
(Dok: Pribadi, 2014)

Di siang hari yang terik, mamak menjemur bulir padi sebelum digiling menjadi beras
(Dok: Pribadi, 2014)

Selepas bermain di sungai, saya berjalan melewati teras Rumah Betang
(Dok: Pribadi, 2014)

Tampang samping Rumah Betang Sungai Utik, pagar bercat biru mempercantik penampilannya
(Dok: Pribadi, 2014)

Bagian depan atau hulu Rumah Betang
(Dok: Pribadi, 2014)

Halte di depan jalan Dusun Sungai Utik
(Dok: Lukas Alfario, 2014)

Sehari-hari masyarakat Sungai Utik menggunakan penerangan berupa lampu solar cell, sehingga tiap pagi hingga petang masyarakat harus 'menjemur' lampu di halaman depan
(Dok: Lukas Alfario, 2014)
Jalan setapak yang kami lewati menuju sungai
(Dok: Pribadi, 2014)

Theo dan mamaknya bersiap mandi ke sungai; Di sini anak-anak bayi pun sudah dilatih untuk mandi di sungai
(Dok: Pribadi, 2014)

Perjalanan ke tempat-tempat seru tidak akan menyenangkan tanpa seorang kawan
(Dok: Pribadi, 2014)

Ingin rasanya saya berteriak, saya benar-benar bahagia!
(Dok: Pribadi, 2014)
Sungai yang mengalir melewati Dusun Sungai Utik ini dimanfaatkan oleh warga sebagai tempat mencuci, mandi, dan tempat bermain bagi anak-anak. Bagi Suku Dayak Iban, sungai merupakan sumber penghidupan
(Dok: Pribadi, 2014)

Kami dan anak-anak bermain di pinggir sungai
(Dok: Lukas Alfario, 2014)

Pada keesokan harinya (15/07/2014), saya dan beberapa teman menikmati mandi di sungai. Siapa yang tidak bahagia bisa merasakan mandi di sungai yang begitu jernih dan segar tanpa ada polusi sedikit pun? Saya benar-benar bahagia, dan saya jatuh cinta
(Dok: Pribadi, 2014)

Kamu belum akan mengerti betapa bahagianya saya, sebelum kamu menjejakkan kami di Sungai Utik ini
(Dok: Pribadi, 2014)

Saya tidak  tahu tanaman apa ini, tapi ini benar-benar menarik
(Dok: Nabhela Ayu, 2014)

Bermain sampan di pinggir sungai
(Dok: Lukas Alfario, 2014)

Selesai mencari ikan anak-anak mengajak sebagian dari kami bermain sampan
(Dok: Lukas Alfario, 2014)

Bermainlah sepuasmu nak, nikmatilah keindahan alam yang Tuhan titipkan di sekelilingmu
(Dok: Lukas Alfario, 2014)

Comments

Popular Posts